Senin, 10 Oktober 2005

Adat Pernikahan Batak di Jakarta

Sumber: http://matajakarta.blogspot.com/2005/04/adat-pernikahan-batak-di-jakarta.html

Kemarin saya menghadiri pesta pernikahan salah seorang kerabat jauh. Saya sendiri belum pernah ketemu dengannya. Hanya karena diundang dan dikasih tahu bentuk pertalian saudara dengan dia--partuturon, dalam istilah Batak-- saya pun datang ke sana. Tempat perhelatan di Gedung Mangaradja, salah satu tempat terkenal untuk pesta pernikahan orang Batak di Jakarta. (Sopir taksi yang saya tumpangi langsung tahu tempat yang saya tuju, padahal saya cuman bilang, pengin ke tempat pernikahan di Pulogadung, tapi lupa namanya. Padahal dia bukan orang Batak!)

Ketika masuk ke tempat acara, saya langsung merasakan atmosfir yang berbeda dibanding dengan upacara-upacara adat yang dilakukan orang Batak di daerah asal. Di sini, tempat pelaminan tertata rapi, persis seperti ketika kita datang ke pesta pernikahan yang telah dijamah modernisasi: penuh dengan ornamen bunga-bunga dan kain berjuntai. Kalau di kampung, ornamen-ornamen seperti itu tidak ada sama sekali. Pengantin dan keluarga dekat duduk seadanya di tempat yang telah disediakan.

Namanya juga pernikahan di gedung, kita tidak akan melihat para tamu yang duduk manis di tikar untuk mengikuti upacara. Fungsi ini telah digantikan kursi dan meja yang telah ditata sedemikian rupa.

Ketika hidangan disajikan, saya merasakan makan seperti layaknya di restoran Padang. Anda akan dilayani oleh pelayan khusus yang telah disediakan pihak gedung. Tidak ada lagi yang namanya parhobas, yang diambil dari pihak keluarga perempuan. Padahal keberadaan parhobas ini merupakan salah satu simbol ikatan keluarga Batak dalam kerangka dalihan na tolu.

Saya juga tidak mendengar lagi gondang menggema ketika pihak keluarga memulai acara adat. Katanya saja "gondang", tapi yang terdengar adalah musik dan lagu dari CD player. Ketika saya menetap sekeliling, para tamu yang hadir, yang hampir seluruhnya orang Batak, terlihat menikmati. Satu-dua tetap saja melakukan gerak tari tor-tor, tari tradisional Batak.

Entah disengaja atau tidak, di tengah acara tiba-tiba saya mendengar lagu Farid Hardja, Aku Rindu. Terang saja saya kaget mendengarnya: apa hubungannya nih? Sekali lagi saya melihat sekeliling. Tidak ada raut protes yang saya lihat.

Ke-adat-batak-an yang masih kental saya lihat waktu itu, hanyalah pada saat pembagian "jambar" kepada marga-marga yang masih terhitung kerabat dan pemakaian bahasa Batak dalam prosesinya.

Sayang, saya tidak bisa berlama-lama di pesta tersebut. Saya telah janji dengan klien. Sementara pesta adat masih akan berlangsung hingga sore hari dan giliran keluarga besar Siburian untuk maju ke depan masih lama. (Saya seharusnya punya kesempatan "mangulosi", memberi ulos, untuk pertama kalinya sejak menikah).

Tapi, setidaknya, pesta adat pernikahan Batak modern yang saya lihat kemarin, telah membuka mata saya, betapa modernisasi memang bisa mengubah pola adat-istiadat yang telah berurat berakar. Adat-istiadat harus mengalah kepada kenyataan hidup. **