Rabu, 22 Oktober 2008

Orang Batak dalam Pers


Tuan Manullang

Mangaradja Hezekiel
Manullang atau Tuan Manullang, lahir di Tarutung, 20 Desember 1887. Adalah
seorang sosok wartawan dan pejuang kemerdekaan dari daerah di Tapanuli.

Tuan Manullang
berpikir mendahului jamannya. Pada umur 32 tahun, mendirikan Soara Batak, yang
terbit tahun 1919 dan tutup tahun 1930. Dengan semboyang ula
tanom unang digomak Bulando, yang
artinya garaplah tanah mu jangan diambil pejajah.

Dalam perjalanannya
Soara Batak beberapa kali terjadi alih kepemimpinan, dari Tuan Manullang, ke
Sutan Sumurung, Jesajas Siahaan,
Urbanus Pardede, dan terakhir Amir Hamzah.

Sifat heroisme-nya
turun dari ayah-ibunya, Singal Daniel Manullang seorang tentara Sisingamangara
XII. Sebagai anak sulung, dia turut menyaksikan perjuangan ayahnya sebagai
intelijen pasukan Raja Sisingamangaraja XII melawan penjajah Belanda.

Ia pernah akrab
dengan tokoh-tokoh Syarikat Islam, Agus Salim, HOS Tjokroaminoto, dan Abdul
Muis. Dari pergaulannya memberikan spirit untuk tetap berjuang didunia pers..

Tuan Manullang
sepertinya mengerti benar, tulisan lebih tajam dari pisau belati. Tak heran,
tulisannya provokatif, menyindir kesewenang-wenangan Belanda. Artikelnya
tentang konsesi Pansoer Batu. Tulisan ini mengungkapkan apa yang terjadi di Pansoer
Batu, di areal tanah seluas 1.020 hektare yang hendak disewakan kepada
pengusaha perkebunan Eropa.

Akibatnya tulisan
itu, masyarakat Pansoer Batu menolak menyewakan tanah mereka. Dan dilanjutkan demonstrasi
besar-besar oleh petani yang diorganisir MH Manullang , 7 Juli 1919, sebagai
bagian penolakan warga.

Dalam insiden
tersebut, seorang perempuan ditempelengi oleh Asisten Residen Ypes. Tuan
Manullang menyebut itu adalah penghinaan pada orang Batak, memukul perempuan.
Perlawanan yang digerakkan Tuan Manullang membuat Soara Batak dibredel, dia dituduh
menimbulkan bibit permusuhan di antara warga dan golongan bangsa Hindia Belanda.

Akhirnya, oleh pengadilan
kolonial memvonis hukuman penjara tiga tahun di pembuangan Nusakambangan. Namun,
rakyat menyambutnya dengan protes dan demonstrasi di mana-mana. Warga Pansoer
Batu mengajukkan permohonan pada Ratu Wilhelmina, lewat surat kepada gubernur jenderal. Reaksi
tersebut memaksa Belanda mengurangi hukuman menjadi 15 bulan di penjara
Cipinang, Jakarta.

Tahun 1924, setelah
bebas dari bui, dia menerbitkan koran baru bernama Persamaan. Kemudian ketika
pindah ke Sibolga Persamaan diubah namanya menjadi Pertjatoeran. Bersama
teman-teman seperjuangan Tuan Manullang mengelar Kongres Persatuan Tapanuli, 17
Februari 1924. Dan mengagas kongres Dalihan na Tolu sebagai kekuatan mengusir penjajah dari Tanah Batak.

Pada umur yang
tidak muda lagi, 52 tahun, dia menjadi pendeta. Menurutnya, HKBP tidak
independent dari zending Eropa. Dari sana
ia mendirikan Gereja Batak Raya yang lepas dari kontrol dan dominasi orang Eropa.
Akhirnya, 1 Mei 1927, mendirikan Huria Christen Batak (HChB) sebagai gereja
yang berdiri otonom tanpa ikut campur zending. Tahun 1950 HChB berubah menjadi
Huria Kristen Indonesia.

Tuan Manullang
wafat di Rumah Sakit PGI Cikini, jalan Raden Saleh, Jakarta, pada 20 April 1979. Sebelum
meninggal dia minta dikubur di pusara bapaknya di Tarutung. Tuan Manullang meninggalkan
5 orang putra, 4 orang putri dengan 105 orang cucu, 126 orang buyut dan 6 cicit,
salah satu cucunya adalah menantu KM Sinaga, Minerva Manullang istri dari Rudy Sinaga.

Pada 2 Oktober 1967,
atas jasa-jasanya pemerintah Orde Baru menganugerahi penghargaan Pahlawan
Perintis Kemerdekaan dan pangkat Bupati tanpa daerah.

Parada Harahap (1899-1959).

Seorang anak desa yang lahir di Pargarutan (Tapsel). Dia dijuluki 'King of the Java Press'. Orangnya adalah
Parada Harahap Parada Harahap bisa memiliki nama besar sebagai seorang jurnalis
karena kemauannya yang keras dan semangat belajarnya yang tinggi, baik secara
otodidak maupun mengikuti kursus-kursus. Umur 15 tahun sudah bekerja sebagai
leerling schryver pada Rubber Cultur My Amasterdam di Sungai Karang Asahan.
Umur 17 tahun memperoleh posisi yang tinggi dapat gaji yang besar F.100 (Golden)
dapat perumahan dan pembantu dengan cuma-cuma.

Karier jurnalisnya dimulai menjadi staf redaksi surat kabar 'Benih Merdeka'.. Kemudian dia
kembali ke kampung halamannya P. Sidempuan dan memimpin surat kabar 'Sinar Merdeka' (1919) dan
memimpin majalah 'Poestaha'. Surat
kabarnya itu mengkritik kontrolir van de Meulen karena kesombongannya dengan
mengatakan 'dia tidak lebih mulia dari seorang babu yang menjaga anak-anak'..
Selama dua tahun di P.Sidempuan 12 kali Parada Harahap kena delik pers masuk
dan ke luar penjara.

Tahun 1922 pindah ke Jakarta
menerbitkan mingguan 'Bintang Hindia' Bintang Timur, Sinar Pasundan. Dia punya
nama samaran Oom Baron Matturepeck yang diambil dari bahasa Batak maturepek
(suara dari kertas). Parada Harahap adalah satu-satunya orang pertama yang
mendirikan Akademi Wartawan di Jakarta.

Adam
Malik Batubara (1917-1984)

Adam Malik Batubara
dilahirkan di Pematang Siantar, Sumatra Utara, 22 Juli 1917 dari pasangan Haji
Abdul Malik Batubara dan Salamah Lubis. Memulai pergerakan dari Huta Pungkut. Usia
17 tahun dia pernah ditahan polisi Dinas Intel Politik di Sipirok karena
membangun pergerakan di Huta Pungkut, Tapanuli Selatan.

Pada usia 20 tahun, Adam Malik bersama dengan Soemanang, Sipahutar, Armin Pane,
Abdul Hakim, dan Pandu Kartawiguna, memelopori berdirinya kantor berita Antara
tahun 1937. Sebelumnya, Adam Malik sudah sering menulis antara lain di koran
Pelita Andalas dan Majalah Partindo. Sebagai seorang diplomat, wartawan bahkan
birokrat. Puncak karienya di masa Orde Baru dia diangkat menjadi wakil presiden
ke-dua.

Mochtar Lubis (1922-2001)

Wartawan senior ini lahir di Padang, Sumatera Barat, 7 Maret 1922. Setelah
tamat sekolah dasar berbahasa Belanda HIS di Sungai Penuh, dia melanjutkan
pelajaran di sekolah ekonomi partikelir di Kayutanam. Dia adalah simbol
perlawanan. Novelnya yang terkenal Harimau, Harimau!, Senja di Jakarta, Jalan
Tak Ada Ujung, Berkelana Dalam Rimba.

Di masa pejajahan Jepang, dia bekerja sebagai anggota tim yang memonitor siaran
radio Sekutu di luar negeri. Berita yang didengar lalu dituliskan dalam laporan
untuk disampaikan kepada Gunseikanbu, kantor pemerintah bala tentara Dai
Nippon.

Setelah kantor berita Antara berdiri, Mochtar Lubis bergabung dengan Antara..
Karena paham bahasa Inggris secara aktif, ia menjadi penghubung dengan para
koresponden asing yang mulai berdatangan ke Jawa untuk meliput kisah Revolusi Indonesia.

Pada parohan
pertama dasawarsa 1950, Moctar Lubis mendiriakan Indonesia Raya, begitu pula
sebaliknya. Selain sebagai wartawan, Mochtar Lubis juga dikenal sebagai
sastrawan. Ia pandai pula melukis dan membuat patung dari keramik. Mulanya dia
menulis cerpen dengan menampilkan tokoh karikatural si Djamal. Kemudian dia
bergerak di bidang penulisan novel. Di antara novelnya dapat disebut: Harimau,
Harimau!, Senja di Jakarta, Jalan Tak Ada Ujung, Berkelana Dalam Rimba. Dia
memperoleh Magsaysay Award untuk jurnalistik dan kesusastraan.

Setelah tahun 1968 Indonesia Raya diizinkan terbit kembali, Lubis melancarkan perlawanannya
terhadap korupsi di Pertamina. Bos perusahaan negara itu, Letnan Jenderal Ibnu
Soetowo, disorot dengan tajam, namun sia-sia belaka. Ibnu boleh mundur sebagai
Direktur Utama Pertamina, akan tetapi posisinya tetap kokoh dan harta yang
dikumpulkannya tidak dijamah.

Mochtar lubis
memang menjadi pahlawan di pentas jurnalistik, itulah yang amat disukainya.
Apakah soalnya menyangkut pencemaran lingkungan hidup atau pelanggaran hak-hak
asasi manusia (HAM), bisa dijamin ia ada di sana sebagai pembela perjuangan untuk yang
benar dan adil.***


Sumber:http://media-jakarta.blogspot.com/2008/09/media-jakarta-orang-batak-dalam-dunia.html

1 komentar:

  1. horas lae. menarik juga dokumentasi ini. mauliate sudah berkunjung ke the beautiful sarimatondang.
    horas

    BalasHapus